Tasawuf Falsafi Ibn 'Arabi
oleh Muhammad Z. Rakhman
Sejarah tasawuf memunculkan corak yang beragam, sesuai dengan karakteristik para tokohnya. Secara umum, ragam tasawuf terbagi atas tasawuf akhlaki, tasawuf amali, dan tasawuf falsafi. Ada dua corak tasawuf lainnya yang menyelingi diantarannya yakni tasawuf semi falsafi (tasawuf mistik), dan tasawuf sunni.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang memadukan antara visi intuitif dan visi rasional. Tasawuf falsafi lebih mengedepankan pembahasan yang sifatnya teoritis dari pada praktis. Tasawuf falsafi dapat dikatakan intelektualitas dari tasawuf, yang memadukan penggunaan epistemologi nalar burhani dengan nalar ‘irfani. Artinya, selain kecenderungan intuitif yang menjadi cirinya, corak tasawuf ini juga berusaha menjelaskan ilham intuitif itu dalam logika filsafat, meskipun tidak sepenuhnya sebagaimana sebuah sistem filsafat.
Ciri khas tasawuf falsafi adalah ajarannya yang samar dan sulit dipahami akibat banyaknya istilah khusus yang bersumber dari filsafat. Meskipun begitu, tasawuf falsafi tidak bisa juga disebut filsafat murni, karena tidak hanya melandaskan kepada penalaran rasional melainkan juga menggunakan rasa (dzauq) sebagai sumber ajarannya. Tokoh tasawuf falsafi yang diantaranya adalah Ibnu ‘Arabi, dengan paham wahdatul wujud, dan al-Jili dengan konsep insan kamil.
Tasawuf falsafi muncul pada abad ke enam dan tujuh hijriyah. Tasawuf ini sebenarnya didahului oleh tasawuf semi falsafi, yakni corak tasawuf yang sangat kental dengan mistisime, dengan pembahasan tema-tema yang dapat dimungkinkan dipengaruhi oleh masuknya tradisi filsafat Yunani. Tasawuf semi falsafi ini tokohnya adalah al-Hallaj dengan doktin hulul, dan Abu Yazid al Busthomi dengan doktrinnya ittihad. Namun, filsafat semi falsafi ini ditolak habis-habisan oleh kalangan tasawuf syar’i, yang berusaha memurnikan ajaran tasawuf yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Tasawuf Syar’i atau tasawuf sunni dengan tokoh terbesarnya yakni Imam al Ghazali, telah berhasil menumbangkan tasawuf semi falsafi, hingga matinya pemikiran filsafat di kalangan sunni hingga berabad-abad. Inilah kenapa, tasawuf falsafi kurang begitu berkembang dan populer dikalangan ummat Islam. Pasca masa kejayaan tasawuf sunni, ternyata benih-benih filsafat dalam tasawuf, tidak musnah begitu saja. Benih tersebut muncul kembali dalam bentuk pohon yang besar dan memiliki kematangan yang paripurna, dalam sosok Ibnu ‘Arabi. Sosok yang digelari Syaikh al-Akbar, berhasil membawa tasawuf falsafi kepada puncak kegemilangannya.
Konsep Tasawuf Falsafi Ibnu ‘Arabi
Tasawuf falsafi Ibnu ‘Arabi bertumpu pada doktrin utamanya, yakni wahdatul wujud, yang menjadi basis dari seluruh pemikiran Ibnu ‘Arabi. Dalam pembahasan tesis ini, selain wahdatul wujud, ada dua teori Ibnu ‘Arabi yang penting, yakni konsep tajalli, dan hakikat muhammadiyah.
Konsep Wahdatul Wujud
Dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi, segenap wujud itu hanya mempunyai satu realitas. Alam semesta hanyalah wadah dari tajalli nama nama dan sifat-sifat Allah dalam suatu bentuk yang terbatas. Nama-nama dan sifat sifat itu pada hakikatnya identik dengan Dzat-Nya yang mutlak. Artinya, Allah itu mutlak dalam esensi, namun bertajalli pada alam yang serba terbatas. Tuhan adalah ‘ayn sesuatu, maka menjadi terbatas dengan batasan semua yang terbatas.
Ibnu ‘Arabi berpendapat bahwa wujud hakiki hanyalah Allah ta’ala dari esensi-Nya, bukan dari segi sifat-sifat-Nya. Sementara selain dari wujud-Nya, hakikatnya hanyalah khayal belaka. Namun, Tuhan dalam esensi-Nya yang mutlak, tidak dapat dikenali, bahkan tidak bisa dikatakan Tuhan jika tidak ada yang bertuhan kepada-Nya. Wujud Dzat Mutlak inilah yang disebut Khazanah Yang Tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan), sebuah titik ama (titik buta), dimana Dia berada dalam kesendirian yang abadi. Oleh karena itu, Dia menghendaki untuk dikenal, maka Dia bertajalli atau bermanifestasi dalam alam empiris yang serba terbatas.
Konsep Tajalli
Konsep ini hampir disamakan dengan emanasi. Namun pada dasarnya sangat berbeda. Emanasi bersifat vertikal, dan adanya bagian dari Dzat yang kemudian melimpah atau memercik, menjadi limpahan-limpahan maujud, atau percikan percikan Dzat. Tajalli tidak demikian. Tajalli, yang bahasa lainnya adalah manifestasi atau penampakan, terjadi dengan konsep pencerminan. Alam semesta adalah bayangan-Nya yang berada dalam cermin.
Perumpaan lain yang lebih modern, sebagaimana konsep proyektor. Apa yang ada di layar adalah proyeksi dari sesuatu yang asalnya berada di laptop, kemudian diproyeksikan ke layar. Keduanya menjadi identik, namun yang satu adalah esensi yang asli, yang satu hanya proyeksi atau bayangan. Tuhan adalah esensi (seperti perumpamaan sesuatu yang ada di laptop, sementara makhluk (manusia dan alam semesta) adalah hasil proyeksi. Maka sejatinya, yang ada itu hanya satu, yakni Tuhan. Hasil proyeksi yang beragam hanyalah akibat dari keterbatasan akal untuk melihat kesatuan di balik keragamaan yang tampak itu.
Proses tajalli Tuhan adalah sesuatu yang abadi, yang berada di luar konsep ruang dan waktu, sehingga sungguh pun bisa digunakan perumpamaan cermin dan sebagainya, prosesnya tidaklah dalam pengertian harfiah indrawi. Tidak sebagaimana bayangan akal dalam konsep ruang dan waktu. Tajalli Tuhan pada fenomena juga merupakan hubungan antara potensialitas dan aktualitas. Tajalli ini terjadi karena Dia ingin dikenal, sehingga urgensi tajalli ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar bagi adanya penciptaan. Tanpa adanya kehendak-Nya untuk dikenal, maka tidak ada tajalli. Jika tidak ada tajalli, maka tidak akan ada alam semesta, tidak ada manusia, dan tidak ada apapun. Tanpa tajalli ini, maka Dia tetap merupakan khazanah yang tersembunyi (Kanzan Makhfiyyan), yang berada dalam kesendirian-Nya yang abadi dan absolut.
Konsep Hakikat Muhammadiyah
Tuhan bertajalli pada alam semesta, namun alam semesta tidak dapat menampung tajalli Tuhan secara sempurna dan utuh. Bagian alam ini hanya dapat menampung satu aspek dari nama dan sifat-Nya. Oleh karena itu, diperlukan suatu makhluk yang Allah dapat melihat citra diri-Nya secara sempurna dan utuh. Oleh karena itu, Dia menciptakan Adam (manusia). Tidak semua manusia bisa menjadi tajalli yang sempurna dan utuh. Hanya manusia yang memiliki kesadaran ilahiyah yang mampu menjadi tajalli-Nya, yakni manusia yang disebut insan kamil.
Insan kamil itu menjadi tajalli-Nya yang sempurna disebabkan dalam dirinya berada nur muhammad atau hakikat muhammadiyah, yang merupakan wadah tajalli Tuhan yang paripurna, makhluk pertama yang diciptakan jauh sebelum Adam tercipta. Dia disebut juga akal pertama (al-aql al awwal), atau pena yang tinggi (al-qalam al-a’la), dan oleh sebab dirinya lah, segala sesuatu tercipta.
Dalam pemikiran Ibnu ‘Arabi, hakikat muhammadiyah dipandang sebagai penyebab terciptanya alam semesta. Hal ini karena Tuhan mengawali penciptaan karena kehendak ingin dikenal dan dapat melihat citra diri-Nya. Alam semesta tidak bisa mengenal-Nya secara utuh dan sempurna. Hanya manusia yang memiliki potensi akal, yang bisa mengenali-Nya. Manusia yang paling bisa mengenali-Nya adalah insan kamil. Oleh sebab insan kamil lah, alam semesta terpelihara. Karena insan kamil merupakan wadah tajalli Tuhan yang paling sempurna, yang menjadi sebab, Dia ingin dikenal. Istilah dikenal, bisa dimaknai juga dicintai. Jika sebabnya hilang, maka akibatnya juga akan hilang. Jika Tuhan tidak lagi berkehendak untuk dikenali, maka Dia akan menghilangkan manusia dan berhenti bertajalli, maka alam semesta pun akan lenyap.
Demikian pentingnya keberadaan insan kamil inilah, yang menjadikannya disebut sebagai prototipe universal, sebuah mikrokosmos yang hakikatnya adalah makrokosmos. Hakikat Muhammadiyah (nur muhammad) yang menjadi inti kesempurnaan insan kamil, adalah wujud tersendiri yang menghubungkan antara Yang Mutlak dan alam yang terbatas. Ia disebut qadim jika dilihat dalam perspektif ilmu Tuhan yang qadim, namun disebut baru disebabkan memanifestasikan diri pada alam yang terbatas dan baru.
Wadah pertama sebagai lokus hakikat muhammad mengidentifikasikan diri secara sempurna adalah jasad Adam sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah ta’ala. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Qudsi, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam sesuai citra-Nya”. Oleh karena itu, malaikat diperintahkan bersujud kepada Adam, yang pada hakikatnya adalah bersujud kepada hakikat muhammad atau nur muhammad.
Sedangkan perwujudan hakikat muhammad yang paling paripurna, paling identik, lahir dan batin, jasad dan ruh, adalah pada sosok Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, Rasulullah saw, disebut sebagai Sayyidul Wujud, pemegang syafa’at yang agung, dan dalam tradisi kebudayaan Islam, dalam simbolisme arsitektur, kaligrafi Allah dan Muhammad, diletakkan bersisian: Allah di sisi sebelah kanan, dan Muhammad di sisi sebelah kiri. Itu merupakan simbol dari makna eksistensi Muhammad yang merupakan perwujudan hakikat muhammad atau nur muhammad, insan kamil yang paling paripurna, yang menjadi alasan terciptanya alam semesta.
Komentar
Posting Komentar