Kearifan Beragama

Oleh Muhammad Zainur Rakhman

Dewasa ini, semangat keberagamaan tumbuh dengan semarak luar biasa di kalangan kaum muslimin. Fenomena belajar agama, menjadi suatu trend tersendiri, pasca berduyun-duyunnya para selebritis melakukan ‘hijrah’. Para orang tua berlomba-lomba memasukkan anak-anaknya ke pesantren unggulan, tidak tanggung-tanggung, pesantren tahfidz dengan target anaknya menjadi penghafal al Qur’an 30 Juz. Pembicaraan ibu-ibu sosialita, sudah mulai beralih kepada trend hijab terbaru, pergi umroh, dan saling membanggakan putra-putrinya, sudah hafal berapa juz. Tentu saja, ini sesuatu yang positif, kita bersyukur. Akan tetapi, kita harus hati-hati betul, karena trend beragama yang populis, tak kalah berbahaya dengan beragama yang formalis. Satu hal yang bisa hilang dari agama, yang justru demikian penting, yakni: kearifan.

Kearifan bermakna pengenalan yang sudah melampaui pengetahuan. Kearifan beragama berarti suatu bentuk makrifat atau penghayatan agama yang terwujud dalam laku, sebagai buah dari keimanan yang dewasa. Orang yang arif dalam beragama, syaratnya adalah iman yang dewasa. Kearifan beragama memiliki konsep sebagai berikut:

Pertama, agama sebagai kendaraan dan wasilah menuju Tuhan. Tujuan atau ghoyahnya adalah Tuhan, bukan agama, apalagi aliran atau ormas. Dalam mencapai tujuan itulah, agama menjadi sarana pribadi yang bersifat personal dan intim. 

Kedua, agama bisa diibaratkan urusan dapur, dimana makanan dimasak dengan dengan berbagai uborampe dan caranya masing-masing. Adapun sesuatu yang disajikan di ruang tamu, adalah masakan yang sudah jadi, dan siap dinikmati oleh siapapun tamu yang datang. Dalam konteks ini, akhlak dan budi pekerti itulah hasil masakannya. Urusan dapur, tidak elok dibicarakan di ruang tamu. Maka agama, dalam perumpamaan ini adalah sesuatu yang menjadi urusan privat manusia dengan Tuhannya, bagaimana dia mengolah masakannya (pribadinya), agar ketika ada tamu yang datang, sajian yang dihasilkan enak dan dapat dinikmati. Artinya, setiap berada di ruang publik, dimana kita berhubungan dengan manusia, maka akhlak dan budi pekertilah yang kita tunjukkan.

Ketiga, kearifan beragama bertumpu pada akhlak dan kepribadian yang menjadi tujuan dari segala ritus syariat. Akhlak dan kepribadian tersebut bisa dirangkum dalam empat sifat kepribadian yang utama, yang menjadi kepribadian para nabi. Empat kepribadian utama itu adalah: Kesucian, Kerendahan Hati, Kedermawanan, dan Keadilan. Empat kepribadian itulah yang menjadi ciri khas dari orang yang sudah arif dalam beragama. 

Kesucian adalah kualitas batin yang senantiasa menjaga kesesuaian dengan kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesederhanaan. Fitrah jiwa yang benar-benar murni akan selalu mencari serta menetapi kebenaran dan menghindari kesalahan; menyukai kebaikan dan menjauhi keburukan; mencintai keindahan dan membenci kekejian; serta merasa nyaman dengan kesederhanaan, disaat yang sama merasa jengah dan muak dengan kemewahan. 

Kerendahan hati adalah pemahaman yang utuh akan posisi diri dengan segala sesuatu. Makna kerendahan hati, artinya mampu mengerti bahwa hakikat kemuliaan dan kelebihan adalah pemberian Tuhan, dan dalam setiap aspek yang berbeda-beda, tiap-tiap manusia akan selalu bergantian dalam posisi melebihi dan dilebihi, mengungguli dan diungguli, mengatasi dan diatasi. Terkadang seseorang melebihi yang lainnya dalam satu aspek, akan tetapi dilebihi oleh banyak orang dalam aspek yang lain. Hal itu pun akan senantiasa bergantian dalam konteks waktu. Saat ini mengungguli, setahun yang akan datang, atau bahkan esok hari, sudah dalam posisi diungguli. Kerendahan hati sejati, yakni mampu keluar dari pola tersebut (ora mikir).

Kedermawanan artinya kemurahan hati untuk saling terhubung satu dengan yang lainnya, bahwa dalam semesta jagad raya ini, kita berbagi bumi yang sama, kita saling berbagi udara (udara yang kau hembuskan itulah yang kemudian aku hirup, begitu sebaliknya), kita juga berbagi air, dan dalam banyak hal, kita juga berbagi makanan. Nasi yang kita makan, berasal dari kerja keras banyak manusia yang lainnya; dari yang menanam benih, mengolah sawah, menabur pupuk, merawatnya hingga panen, yang memisahkan dengan tangkainya, yang memisahkan dengan sekamnya, yang mengantarkannya, yang menjualnya, hingga sampai ke dapur istri tercinta, untuk ditanak dengan sepenuh jiwa. Penghayatan semacam itu akan semakin meringankan jiwa, menyuburkan kemurahan hati.

Keadilan artinya kejujuran dalam melihat dan mencerap realitas, menempatkan tiap tiap sesuatu pada proporsinya, dan memandang secara utuh dari langit (helicopter view), bahwa terdapat banyak jalan untuk menuju suatu tempat; bahwa ada banyak percabangan dalam sebuah pohon; bahwa segala alur aliran sungai, pasti bermuara di satu samudera; dan dalam aneka suara burung yang berbeda-beda, ada munajat tasbih yang sama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epistemologi dalam al Qur'an

Hakikat Mencintai Allah Swt; Khauf, Raja, dan Tawakkal Kepada-Nya

Mengenal Inkarussunnah