Tasawuf dan Tarekat dalam Gerakan Spiritual dan Intelektual
disusun Oleh Muhammad Zainur Rakhman, M. Ag.
Pendahuluan
Kehidupan modern yang materialistik telah melahirkan kekeringan spiritual. Kegagalan modernisme untuk memenuhi kebutuhan ruhani itu menyebabkan kegelisahan dalam diri manusia. Hal ini memicu kerinduan akan hal-hal yang bersifat metafisik yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut.
Masyarakat modern sering digolongkan sebagai the post industrial society, sebuah masyarakat yang telah mencapai tingkat kesejahteraan hidup material yang tinggi, dengan sarana teknologi yang serba mekanik dan praktis. Dalam kondisi tersebut manusia modern bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup, melainkan sebaliknya seringkali dihinggapi rasa cemas, tidak percaya diri, dan krisis moral. Sehingga pelarian dan pencarian kepada kehidupan ‘lain’ menjadi sebuah keniscayaan. Munculnya berbagai kelompok dan sekte dengan berbagai cara dan jalan yang ditempuh untuk bisa lebih mendekatkan diri kepada pujaannya dengan penampilan eksklusifnya, adalah fenomena menggejala pada saat ini. Munculnya sekte David Koresh di Amerika Serikat misalnya, Aum Shinrikyu dengan tokohnya Shooko Asahara di Jepang, sekte Falun Gong dengan pendirinya Li Hongzhi di Cina, dan sebagainya, adalah bukti dari fenomena tersebut.
Adanya perhatian yang signifikan terhadap agama dan spiritualitas di Barat, dikarenakan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidak memberikan makna tentang kehidupan, sehingga di zaman ini muncul istilah turning to the east, sebagai pertanda bahwa fenomena agama akan mengalami kebangkitan. Itulah sebabnya mengapa akhir-akhir ini banyak orang Barat yang pergi ke India, Tibet, Turki, Srilanka, China dan Jepang untuk menggali tradisi kearifan spiritual Timur.
Berbondong-bondongnya manusia untuk menempuh spiritualitas, dan beralihnya masyarakat kepada dunia esoterik adalah penanda telah berakhirnya modernisme dan akan berawalnya sebuah zaman baru. Tasawuf dan tarekat berada dalam arus zaman baru, dan menjadi bagian dari pergeseran zaman ini. Tulisan ini membahas bagaimana pergumulan tasawuf dan tarekat di tengah tengah gerakan spiritual dan intelektual pasca modern; Bisakah Tasawuf dan tarekat berperan secara aktif dalam membentuk spiritualitas dan intelektualitas pasca modernitas? Apa keunggulan yang bisa ditawarkan oleh tasawuf dan tarekat secara spiritual dan intelektual?
Tasawuf dan Spiritualitas
Makna istilah tasawuf memiliki asal-usul yang beragam, dengan definisi yang kompleks. Ada yang menilik dari struktur bahasa, yang kemudian menjadi beberapa turunan makna, shafa, yang bermakna kemurnian, dimana banyak sufi yang mengelaborasi makna ini sebagai makna yang identik dengan tasawuf: kesucian; shaf, maknanya adalah barisan atau derajat. Hal ini karena para sufi adalah mereka yang berada pada barisan terdepan dan derajat yang tertinggi.
Ada yang menilik dari faktor kesejarahan yakni merujuk pada kaum ahlus suffah. Yakni para sahabat yang menghuni serambi masjid nabi, dan menyibukkan diri hanya dengan beribadah. Beberapa pakar mengatakan bahwa inilah model awal kaum sufi. Ada juga yang menilik dari ciri khas lahiriah, yakni pakaian dari bulu domba (suff).
Berkaitan dengan sumber ajaran, semua sufi sepakat bahwa sumber ajaran tasawuf adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, serta pengalaman spiritual dari masing-masing sufi. Hanya saja, para peneliti berbeda pandangan mengenai adakah pengaruh dari tradisi luar Islam, seperti praktik asketik para rahib, praktik bertapa para biksu, dan sebagainya. Bahkan ada yang berpendapat bahwa tasawuf secara substantif tidak hanya berada dalam Islam. Tasawuf ada dalam filsafat Yunani, ada dalam Zoroaster, ada dalam Budha, dan sebagainya. Tasawuf dalam pemahaman ini sering disebut dengan mistisisme.
Tasawuf memiliki rentang kesejarahan yang beragam. Setidaknya ada tiga pembagian tasawuf. Pada awal kemunculannya, tasawuf tidak lebih dari pembinaan akhlaq, sehingga disebut tasawuf akhlaqi. Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang menitikberatkan pada pembinaan akhlak al karimah. Akhlaq yang ditekankan adalah kehidupan zuhud. Tokoh yang populer pada masa ini adalah Hasan al Basri.
Kemudian, seiring dengan perkembangan wilayah dan politik Islam, tasawuf mulai membentuk pola-pola peribadatan yang khas, dengan para syaikh atau mursyid sebagai pusat-pusat spiritual. Oleh karena itu disebut tasawuf amali. Tasawuf amali muncul dalam bentuk tarekat-tarekat sufi, diantara tokohnya adalah Syaikh Abdul Qadir al Jilani, pendiri tarekat Qadiriyah, kemudian Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili, pendiri tarekat Syadziliyah. Tasawuf amali menekankan pada pengamalan ibadah, baik yang wajib maupun yang sunnah, terutama wirid dan zikir.
Ketika dunia Islam bersentuhan dengan filsafat Yunani, kehidupan intelektual kaum muslimin menjadi sangat terpengaruh dengan tema-tema filsafat, tak terkecuali tasawuf. Oleh karena itu, berkembanglah apa yang disebut tasawuf falsafi. Tokoh yang paling terkemuka adalah Ibnu ‘Arabi dan as Suhrawardi. Ibnu ‘Arabi terkenal dengan ajaran wahdatul wujud yang terinspirasi dari filsafat Plotinus.
Perkembangan tasawuf falsafi mendapat tantangan yang kuat dari golongan yang tidak sepakat dengan masuknya ide-ide filsafat dalam tasawuf. Golongan ini berkonsolidasi, dan berusaha membersihkan tasawuf dari unsur-unsur filsafat, mereka mengembangkan apa yang disebut tasawuf sunni. Mereka berusaha mengembalikan tasawuf kepada sumber ajaran al-Qur’an dan Sunnah, serta membuang segala macam syathahat, dan penyimpangan. Tokohnya adalah al-Ghazali dan al-Qusyairi. Di tangan al-Ghazali lah, tasawuf sunni mendapat kegemilangan, hingga filsafat, sekaligus tasawuf falsafi, tumbang dan tidak berkembang.
Dalam tasawuf dikenal sistem pembinaan akhlaq dalam tiga hierarki tahapan: takhalli, yakni pengosongan. Artinya, mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela. Kemudian tahalli, atau penghiasan. Artinya, menghiasi diri dengan sifat-sifat kemuliaan dan keluhuran, kemudian puncaknya adalah tajalli, atau manifestasi. Artinya, menjadi perwujudan dari kasih sayang dan kebesaran Tuhan, dalm arti lain, menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dalam pengertian lain juga berarti terungkapnya nur sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan. Dengan sistem pembinaan tersebut, tasawuf melahirkan spiritualitas yang tinggi yang berbeda dengan model spiritual yang lain. Spiritualitas yang terkandung dalam ajaran tasawuf merupakan ekspresi paling tinggi dari kehidupan religius. Hal ini karena manusia, melalui ritual tasawuf, dapat menghadirkan diri dalam relung jiwanya bersama Realitas Absolut, sumber dan tujuan hakiki kehidupan.
Ajaran tasawuf walaupun secara normatif idiologis tampak statis, namun di balik kestatisannya telah menyimpan kedinamisan yang luar biasa; sehingga dalam sejarahnya yang panjang diketahui tidak sedikit gerakan tasawuf —melalui tarekat— yang justru menjelma sebagai suatu gerakan kekuatan yang dapat, tidak hanya memotivasi sebagian umat untuk berjuang melawan dan mengusir penjajah, namun juga bisa memobilisasi massa dalam jumlah besar demi tegaknya supremasi hukum, sosial, kultur, politik, bahkan juga ekonomi.
Tasawuf dan Intelektualitas
Tasawuf memang lazim dikenal sebagai ajaran yang bersifat ruhani, serta berkaitan dengan pembersihan jiwa dan pembentukan akhlaq yang mulia. Tasawuf kurang dikenal sebagai suatu ajaran atau gerakan intelektual yang menyumbangkan sebuah pemikiran yang bermanfaat bagi dunia. Hal ini bisa dimengerti karena dalam sejarahnya, sisi intelektualitas tasawuf, sudah demikian tertutup oleh pengaruh tasawuf sunni, dan semakin terkubur oleh praktek-praktek tarekat yang mengutamakan wirid dan amaliah ibadah.
Sepinya tasawuf dari intelektualitas bukan berarti tidak ada tasawuf yang intelek. Ada corak tasawuf yang demikian rasional, dan bahkan filosofis, terutama yang digawangi oleh Ibnu ‘Arabi dan Suhrawardi. Tasawuf dalam corak filosofisnya telah menghasilkan pemikiran pemikiran bernas, yang sangat berpengaruh di dunia, tidak hanya sebatas kaum muslimin, melainkan juga orang-orang Barat. Konsep pemikiran Wahdatul Wujud Ibnu ‘Arabi, sampai kini dikaji oleh para ilmuan, baik Barat maupun Timur. Pemikiran sufi yang filosofis ini menjadi bukti bahwa tasawuf juga merupakan ajaran yang bersifat intelektual. Konsep hierarki cahaya dari Suhrawardi merupakan bentuk penyempurnaan terhadap konsep emanasinya Ibnu Sina yang diadopsi dari Plotinius. Konsep ini menjelaskan tingkat-tingkat realitas, dari yang paling tinggi, yakni Allah swt., sampai yang paling rendah dalam bentuk materi.
Konsep-konsep tasawuf falsafi itu memang kurang begitu dikenal dan kurang berkembang di kalangan ummat Islam. Hal ini disebabkan setidaknya dua hal: pertama, kesukaran dalam memahami konsep-konsep itu, terutama di kalangan awam; kedua, adanya ketakutan bahwa konsep-konsep tersebut menyimpang dari garis akidah yang ditetapkan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini juga tidak lepas dari hegemoni para fuqoha yang berkelindan dengan kekuasaan, yang memiliki kepentingan terhadap stabilitas politik kerajaan. Pukulan telak, bahkan dilakukan oleh Hujjatul Islam, yakni Imam al-Ghazali. Karena praktis, setelah masa al-Ghazali, tasawuf falsafi, tidak berkembang di dunia sunni.
Tasawuf falsafi telah menyumbang bagian besar dalam epistemologi pemikiran Islam. Epistemologi Islam yang pada awalnya didominasi oleh bayani, kemudian bertambah menjadi epistemologi burhani dan irfani. Kedunya adalah sumbangan dari tasawuf falsafi. Dengan penambahan epistemologi itu, maka keilmuan Islam, menjadi keilmuan yang terlengkap dalam mengkaji dan menjangkau realitas. Inilah sumbangan tasawuf yang tak kentara dan barangkali tidak terlalu populer di kalangan ummat Islam sendiri.
Tarekat Sebagai Bentuk Gerakan Tasawuf
Kata tarekat atau thariqah dalam al-Qur’an terdapat sebanyak sembilan kali dalam lima surat, yaitu Q.S. an-Nisa(4:168-169); Q.S. Thaha (20:63, 77 dan 104); Q.S. al-Ahqaf (46:30); Q.S. al-Mu’minun (23:17); Q.S. al-Jin (72:11 dan 16). Semua ayat tersebut bermuara pada suatu makna, yaitu sebuah jalan yang dilewati, baik jalan kebaikan dan lurus maupun jalan kesesatan. Tarekat dalam segi istilah, yakni jalan, petunjuk dalam melakukan suatu ibadah sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi, yang bersambung melalui sanad guru-guru yang disebut mursyid.
Tarekat terbentuk pada abad ke-5 dan ke-6 H, ketika para elit sufi serius untuk melembagakan ajaran-ajaran spiritual mereka dalam sebuah sistem mistik praktikal agar mudah dipelajari dan dipraktikkan oleh para pengikut mereka. Sistem mistik tersebut pada prinsipnya berisi ajaran tentang maqamat, sebuah tahapan-tahapan yang secara gradual diikuti dan diamalkan para sufi untuk sampai ke tingkat makrifat, yaitu kondisi psiko-spiritual yang memungkinkan seseorang (salik) dapat merasakan kenikmatan spiritual sebagai manifestasi dari pengenalan hakiki terhadap Allah swt. Kondisi demikian, pada akhirnya melembaga sebagai sebuah kelompok atau organisasi atau ordo sufi yang terdiri dari syekh, murid, dan doktrin atau ajaran sufi yang selanjutnya dikenal dengan tha'ifah sufiyyah, dan lebih teknis lagi sebagai tarekat.
Dalam bukunya yang berjudul The Sufi Orders in Islam, Trimingham mencermati tarekat melalui tiga fase perkembangannya. Menurutnya, apa yang disebut tarekat pada mulanya adalah metode gradual kontemplatif dan penyucian diri: Sekelompok murid berkumpul mengelilingi seorang guru sufi terkemuka, bersama-sama menempuh pelatihan ruhani, namun sama sekali tak terkait dengan bentuk bai’at apapun.” Ia menyebut tarekat periode awal ini sebagai “suatu ungkapan keberagamaan pribadi murni yang berseberangan dengan pelembagaan agama berdasarkan otoritas (manusia).”
Pada periode selanjutnya, sekitar abad kedua belas, pelatihan ruhani itu kemudian mengalami pelembagaan berdasarkan garis silsilah guru dan kewajiban bai’at. Upacara bai’at adalah syarat utama bagi seseorang untuk memasuki dunia tarekat. Bai’at adalah upacara inisiasi yang menandai peralihan dari seorang muslim biasa ke seorang muslim anggota tarekat. Bai’at menandai peralihan sistem kehidupan keagamaan dari dunia syariat saja ke arah dunia syariat dan hakikat.
Tarekat Sebagai Gerakan Spiritual dan Intelektual
Tarekat telah memberikan bentuk terhadap tasawuf yang relatif mapan dan terjaga. Hal ini karena adanya sistem sanad dan loyalitas yang kuat antara guru dan murid. Sehingga, pewarisan ajaran menjadi mudah dan berkembang dengan pesat. Selain itu, adanya sanad, menjadikan ajaran tasawufnya terjaga dengan baik dan jauh dari penyimpangan. Tarekat menjadi pelembagaan tasawuf yang kokoh, dan berbentuk kongkret.
Peranan tarekat, menjadi semacam oase spiritual bagi ummat yang banyak berkecimpung dengan hal-hal duniawi. Tarekat menjadi wadah bagi umat untuk mempelajari tasawuf dengan dipandu oleh Guru yang berpengalaman, dari satu tahap ke tahap berikutnya, dengan tertib dan teratur. Hal ini mencegah seseorang dari pencarian spiritualitas yang sembrono dan cenderung hanya mengikuti kata hati, yang belum tentu merupakan petunjuk yang benar. Dengan adanya lembaga, dan guru yang sudah berpengalaman, maka seseorang akan lebih aman dan mudah dalam menempuh jalan spiritual, serta terjaga dari penyimpangan-penyimpangan. Bagaimana pun serigala akan lebih mudah menyerang domba yang sendirian, daripada domba yang berkumpul bersama kawanannya, apalagi dengan panduan domba yang lebih senior.
Selain memberikan asupan spiritual, sebuah tarekat juga menjadi sarana bagi pengembangan intelektual para murid. Ada kitab standar tertentu yang wajib dikaji (misalnya kitab al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah dan kitab Ihya Ulumiddin karya imam al-Ghazali), dan adanya kewajiban bagi murid yang sudah baiat, untuk terus menerus menambah ilmu. Tidak sedikit, hasil dari riyadhah tarekat yang melahirkan pikiran pikiran jenius dalam konteks mengatasi persoalan ummat (seperti yang dilakukan Pondok Pesantren Suryalaya dalam mengatasi para pecandu narkoba). Memang, dari sisi intelektual, dalam pengertian hasil-hasil pemikiran, kiranya kurang diproduksi dalam tarekat. Namun, hal ini bisa menjadi suatu evaluasi, sekaligus langkah awal, untuk menghidupkan dan mengembangkan kembali tasawuf falsafi, dalam bingkai tarekat.
Penutup
Tasawuf dan tarekat merupakan sisi esoteris Islam yang sangat penting. Tanpa tasawuf dan tarekat, Islam menjadi kering dan tidak bisa menjawab kebutuhan spiritual bagi ummat. Ditengah perkembangan spiritualitas pasca modernitas, tasawuf memiliki peranan penting dan bisa menjadi pilihan utama bagi ummat, daripada model model spiritualitas yang lain.
Tasawuf jelas memiliki keunggulan, dibandingkan model-model spiritual yang lain. Tasawuf mampu memberikan panduan yang paling aman, dan rasional. Tasawuf tidak menjadikan seseorang mengasingkan dari dunia, melainkan mengelolanya dalam petunjuk yang seimbang. Tasawuf dalam bentuk tarekat, memberikan sarana bagi para pencari spiritual untuk menemukan keseimbangan kehidupan duniawi dan akherat, lahiriah dan batiniah.
Referensi:
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, 1996.
al-Hujwiri, Kasyf al-Mahjub; Menyelami Samudra Tasawuf, Terj: Ahmad Afandi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, Terj: Khaerul Amru Harahap dan Afrizal Lubis, Jakarta: Qisthi Press, 2011.
Ahmad Muhammad, “Relasi Sufisme dengan Modernitas; Perspektif Abdul Halim Mahmud”, Jurnal Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, Vol. 4, No. 1, 2014.
Amin Syukur dan Fatimah Usman, Insan Kamil; Paket Pelatihan Seni Menata Hati, Semarang: Yayasan Muhsinun, 2006.
Amin Syukur, Sufi Healing, Jakarta: Erlangga, 2012.
at-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Terj: Ahmad Rofi’i, Bandung: Pustaka, 1985.
Syamsun Ni'am, “Tasawuf di Tengah Perubahan Sosial (Studi tentang Peran Tarekat dalam Dinamika Sosial-Politik di Indonesia)”, Jurnal Multikultural & Multireligius, Vol. 15, No. 2, 2016.
al-Qusyayri, Risalah Sufi al-Qusyayri, Terj: Ahsin Muhammad, Bandung: Penerbit Pustaka, 1990.
Agus Riyadi, “Tarekat Sebagai Organisasi Tasawuf (Melacak Peran Tarekat Dalam Perkembangan Dakwah Islamiyah)” , Jurnal at-Taqaddum, Vol. 6, No. 2, 2014.
H. A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsybandiah, cet. 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1999.
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj: Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Moenir Nahrowi Tohir, Menjelajahi Eksistensi Tasawuf, Jakarta: As-Salam, 2012.
Nur Syams, “Tarekat Petani”, Yogyakarta: LkiS, 2013.
Komentar
Posting Komentar