Orientasi Fiqh Kontemporer; Dr. Ir. Muhammad Shahrur dan Sayyid Quthb (Bagian Kedua, akhir).
disusun Oleh Muhammad Yusuf *)
Fiqih Islam Kontemporer Dr. Ir. Muhammad Sharur
Ahli-ahli fiqih yang memihak kekuasaan pada masa kodifikasi dan pembentukan hukum fiqih berpendapat sebagaimana yang mereka pegangi karena takut terhadap Marwan, Abdul Malik dan al Mansur. Tidak ada sesuatupun yang memaksa kita untuk selalu terikat dengan mazahab mereka selain kelompok orang-orang yang mempunyai khayalan-khayalan yang tidak sehat yang takut akan lenyapnya angin pembaharuan.
Seorang hakim pada masa sekarang tidak perlu melemparkan anak ke neraka untuk mengetahui siapa ibunya yang sebenarnya sebagaimana diriwayatkan hadis-hadis. Cukup melalui penyelidikan yang teliti, menganalisis gen di laboratorium untuk sampai pada suatu jawaban. Fuqoha cukup mempelajari ilmu secukupnya untuk mencapai apa yang ia inginkan. Jika ulama fiqih telah menetapkan suatu teori prinsip berubahnya hukum karena perubahan zaman, maka kita menetapkan teori dan praktek dengan pertolongan Allah bahwa hukum dapat berubah dengan berubahnya sistem Ilmu pengetahuan. Jika membaca ayat-ayat waris dengan kacamata matematika modern, menghasilkan hukum dan kesimpulan yang berbeda dengan apa yang dihasilakan ulama abad ke-8 M. Masalahnya bukan karena kecerdasan atau kedunguan, ketakwaan atau tidak. Ini semata-mata maslah problematika yang kita alami dan ilmu pengetahuan yang kita miliki sehingga kita dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh para pendahulu.
Peletakan dasar-dasar fiqih Islam dimulai abad kedua Hijriyah, ketika muncul dinasty Abbasiyah melalui Imam Syafi’I dengan kitabnya ar Risalah (150-204 H). Pada masa itu muncul problem-problem diantaranya adalah problem bahasa, problem sosial keagamaan, problem politik. Sungguh jelas pengeruh kaidah dan aturan nahwu terhadap para mufassir, sehingga sebgaian mereka mengatakan misalnya bahwa iblis adalah termasuk jenis malaikat (Al Hijr: 30-31). Kami berpendapat bahwa penetapan dasar-dasar pembukuan dan pembuatan kaidah narus mengikuti lisan Arab dan at Tanzil, bukan sebaliknya. At Tanzil diturunkan dengan cara diujarkan dan diperdngarkan bukan tertulis dan dibacakan. Perbedaan-perbedaan qiraat diperbolehkan selama tidak merubah makna, begitu pula menjamak atau memufradkan. Prinsip-prinsip fiqih kontemporer Sharur:
At Tanzil al Hakim bersih dari sinonim baik dalam kata-kata maupun dalam susunan kalimat. Misal: lauh mahfud bukan al Imam al Mubin.
Dalam at Tanzil al Hakim tidak ada kata-kata tambahan sebagai petunjuk arti.
At Tanzil al Hakim memiliki tingkatan tertinggi dalam kefasihan. Kita harus mampu membaca apa yang tidak tersurat, seperti dalam ayat pembagian warisan yang tidak menyebut laki-laki.
At Tanzil al Hakim memilki kecermatan dalam susunan kalimat dan kandungan arti yang tidak kalah di banding dengan ilmu kimia, fisika, kedokteran dan matematika.Ini yang membedakan dengan masa lampau, kecerdasan masa sekarang merupakan dasar pokok masalah kontemporer.
At Tanzil al Hakim memiliki kesesuaian dan signifikansi (arti penting bagi kehidupan). Ayat-ayat bukan syair namun kenbenaran bukan angan-angan.
At Tanzil al Hakim adalah petunjuk bagi manusia dan rahmat bagi seluruh alam.Tidak hanya untuk masyarakat Arab saja tapi untuk seluruh masa dan penjuru dunia.
At Tanzil hakim mengandung nubuwwah (kenabian) Muhammad sebagai Nabi dan Rasul (pembawa Risalah).
Sifat hududiyah terjelma dalam batas-batas yang ditetapka Allah (hududullah) yang tidak boleh di langgar bahkan kita harus mengambil jarak aman yaitu sesaat sebelum terbit fajar dan sesaat sebelum waktu malam. Zina tidak boleh tepat berada padanya namun berada pada jarak aman sebagaimana yang berlaku dalam adat kebiasaan masyarakat.
Tidak ada nasikh (ayat yang menghapus ayat lain) dan mansukh (dihapus) .Setiap ayat memilki area dan setiap hukum memiliki ruang pengamalannya.
Ijma adalah kesepakatan ulama yang masih hidup dalam perundang-undangan (merokok, poligami), bukan pada sesuatu yang sudah pasti diharamkan.
Sunnah Nabi tidaklah sama dengan kitab-kitab hadis (musnad, muwatha’, sahih, sunan, mustadrak dan syarahnya). Hadis nabi tentang waris, hak tetangga,sangat berbeda (hal pentingnya) dari hadis-hadis yang berbicara tentang berdiam di masjid, menjilati jari-jari, menjahit sandal dan menyulam pakaian. Orang yang mengklaim bahwa pemahaman kitabullah dari awal hingga akhir sebagai pemahaman yang mutlak, pada dasarnya ia hanyalah mengklaim sebagai sekutu Allah dalam hal pengetahuan.
Shahrur mempunyai pendapat fiqih yang menarik dan unik , pemahaman baru yang berbeda, melalui pijakan lingistik untuk menghasilkan metodologi fiqih Islam kontemporer, diantaranya membahas tentang wasiat, warisan, poligami, kepemimpinan, pakaian. Pemikiran kontroversial beliau adalah batas atas dan batas bawah atau teori hudud.
Teori Batas Syahrur dan Implementasinya terhadap Hukum Islam
Buah dari penelitian yang dilakunya di atas adalah lahirnya sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Terdapat enam bentuk aplikatif teori batas ini dalam kajian terhadap ayat-ayat hukum, yakni:
Pertama, yang hanya memiliki batas bawah. Hal ini berlaku pada perempuan yang boleh dinikahi (QS. [4]: 22-23), jenis makanan yang diharamkan (QS. [5]: 3), [6]: 145-156), hutang piutang {QS. [2]: 283-284), dan pakaian wanita (QS. [4]: 31).
Kedua, yang hanya memiliki batas atas. Berlaku pada tindak pidana pencurian (QS. [5]: 38) dan pembunuhan (QS. [17]: 33, [2]: 178, [4]: 92).
Ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Berlaku pada hukum waris (QS. [4]: 11-14, 176) dan poligami (QS. [4]: 3).
Keempat, ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Berlaku pada hukum zina dengan seratus kali cambuk (QS. [24]: 2).
Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah.
Keenam, yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai negatif berupa zakat.
Keenam bentuk teori batas yang dibuat Syahrur di atas berdampak pada istinbath hukum Islam. Kita ambil contoh dari teori hudud pertama yang hanya memiliki batas bawah, yakni mengenai pakaian dan aurat wanita. Ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Menurut Syahrur aurat adalah apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat, dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat.” Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Lantas ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat.
Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. Al Ahzab: 59.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَٰبِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”
Dia menafsirkan bahwa ayat di atas berbentuk pengajaran, bukan syari’at, dan turun di Madinah yang menunjukan mesti dipahami secara temporal dengan tujuan keamanan dari dua gangguan, yakni gangguan alam atau cuaca dan sosial yang menyesuaikan dengan tradisi setempat sehingga tidak mengundang cemoohan. Maka kesimpulan Syahrur untuk jilbab mempunyai batasan maksimal dan minimal. Batasan maksimalnya yaitu dengan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sedang batasan minimalnya adalah yang hanya menutupi juyūb yang menurutnya meliputi belahan dada, bagian tubuh dibawah ketiak, kemaluan, dan pantat. Selain itu tidak termasuk aurat dan hanya menyesuaikan dengan tradisi masyarakat saja.
Kemudian ia menafsirkan ayat, “Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya”. Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda dan perhiasan tempat. Perhiasan benda contohnya pakaian dan aksesorisnya, sedang perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Maka seluruh bagian tubuh ini boleh terbuka berdasar ayat tadi. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyub (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Dengan kata lain, seorang perempuan yang hanya mengenakan pakaian dalam saja keluar rumah, tidak dipandang melanggar ketentuan Allah. Atau yang menampakkan tindik di perutnya juga tidak apa-apa.
Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa aurat vital wanita (ketiak, payudara, dan kemaluan) boleh diperlihatkan kepada tujuh golongan lelaki yang disebutkan dalam QS. [24]: 31, yaitu saudara, bapak, anak saudara perempuan, anak saudara laki-laki, orang tua istri dan anaknya. Pendapatnya menyatakan seorang muslimah boleh telanjang bulat di depan lelaki tersebut. Ia mengatakan, “Jika orang tua melihat anak perempuannya telanjang bulat, maka tidak dikatakan bahwa hal itu haram, namun hanya aib saja.” Bahkan Ia mengatakan bahwa hubungan remaja lawan jenis tanpa didasari pernikahan, alias kumpul kebo sebagai sesuatu yang “halal”. Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal. Ia menyatakan, “Bacalah Kitabullah, jangan takut kepadanya, kamu semua bisa melakukan itu tanpa perantara dan tanpa guru, dan pergaulan bebas halal, dengan syarat ada persetujuan diantara kedua pihak,” ujarnya. Ia juga menyatakan, bahwa pergaulan bebas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah ganti atas pernikahan, dan tanpa akad tertulis, adalah “halal, secara syar’i.”
Kemudian contoh teori hudud kedua, yang hanya memiliki batas atas, mengenai ayat potong tangan bagi pencuri. Syahrur menilai kata kata qata’a bisa berarti pemotongan secara fisik maupun non fisik. Hal ini dengan melihat dasar kata qata’a yang ternyata memililki banyak arti dan tidak semua arti mengacu pada pemotongan fisik. Selain itu dalam Al-quran pun tidak semua kata-kata qata’a bermakna pemotongan secara fisik. Contoh Qata’a yang berarti pemotongan secara fisik terdapat pada QS Al-Maidah: 33, sedangkan yang berarti bukan pemotongan secara fisik terdapat pada QS. Ali-Imran: 127, QS. Al-anfal : 7, QS. Al-Baqarah : 27.
Dari sanalah Syahrur mengambil kesimpulan bahwa kata-kata qata’a dalam konteks pencurian bisa diartikan sebagai pemotongan secara fisik maupun non fisik. Dengan melihat maslahah antara pemotongan fisik dan non fisik, Shahrur menilai bahwa pemotongan fisik pada ayat tersebut merupakan hukum maksimal (batas atas) yang bisa ditetapkan, sedangkan pemotongan non fisik misalnya memasukkannya ke dalam penjara. Artinya pada ayat ini berlaku konsep hudud al-a’la dan ruang ijtihad manusia ada di bawah hudud al-a’la tersebut.
Kemudian contoh teori ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Maksudnya, batas minimum dan maksimum telah ditetapkan al-Quran, adapun ijtihad posisinya ada di antara kedua batas minimum dan maksimum tersebut. Contoh: QS. An Nisa : 11, tentang Pembagian Warisan. Batas maksimum laki-laki adalah 2x perempuan, sedangkan batas minimum perempuan adalah 0.5 dari laki-laki. Ijtihad bergerak di antara dua batas maksimum dan minimum tersebut dengan melihat berbagai aspek yang ada.
Mengenai poligami Shahrur sangat ketat membatasinya. Dengan Teori Batasnya ada dua pembatasan istilah penting yaitu pembatasan pada kuantitas (al- Had al-Kamy), yakni berjumlah empat istri, dan pembatasan pada kualitas (al-Had al-Kalfy), yakni istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda yang memiliki anak. Syahrur membolehkan poligami dalam dua kondisi, yaitu pertama, istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda-janda beranak yang suaminya meninggalkannya. Kedua, suami harus memiliki perasaan gelisah bahwa dia tak akan dapat berbuat adil kepada anak-anaknya. Jika kedua syarat di atas tidak terpenuhi, poligami akan gagal. Artinya, calon istri harus janda bukan perawan dan harus mempunyai anak, juga calon suami harus bersikap adil dalam segala aspek. Terutama aspek sosial kehidupan/ kemasyarakatan. Shahrur menerapkan dua kondisi ini berdasarkan struktur norma bahasa dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 4. Shahrur mengambil dua syarat tersebut berdasarkan “struktur kaidah bahasa” dalam firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat.” Shahrur juga melihat bahwa betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata-kata yang halus “ma thoba lakum” (perempuan-perempuan yang kamu senangi) bukan “mashi’tum min an-nisa” ini merupakan salah satu penghormatan terhadap perkawinan.
Mengenai hukum pelaku zina yang termasuk pada Teori Batas keempat yakni ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Maksudnya ketentuan batas maksimum juga menjadi batas minimum, sehingga ijtihad tidak memungkinkan untuk mengambil hukum yang lebih berat dan yang lebih ringan. Contoh: QS. An-Nur: 2, tentang hukuman perzinahan. Dalam ayat tersebut hukuman untuk pelaku zina merupakan had maksimum dan minimum sekaligus, karena dalam ayat tersebut ada perintah untuk tidak “ra’fah”, yang berarti tidak ada keringanan.
Selanjutnya mengenai Teori Batas kelima, yakni ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah. Terakhir, yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai negatif berupa zakat. Had atas yang tidak boleh dilampaui adalah riba, had bawah yang boleh dilewati adalah zakat (zakat sebagai batas negatif karena zakat merupakan batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dalam hal ini zakat dapat dilampaui oleh shadaqah, sedangkan riba tidak boleh dilewati karena merupakan batas atas yang tidak boleh dilewati.
Shahrur menyimpulkan adanya tiga kondisi menyangkut riba. Pertama, berdasarkan Q.S. al-Taubah: 60, fakir dan miskin termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Menurutnya miskin adalah orang yang menurut kondisi sosial dan ekonomi yang ada, tidak mampu menutup hutangnya. Terhadap orang dengan kondisi demikian, berlaku ayat: “Allah akan hapuskan (berkah) riba dan tumbuh-kembangkan sedekah” (al-Baqarah: 276), di samping juga ayat-ayat lain yang berisi kecaman keras terhadap praktik riba (al-Baqarah: 275, 278, dan 279). Oleh karena itu, harta yang disalurkan kepada mereka pada prinsipnya bukan dalam bentuk kredit, tetapi dalam bentuk hibah, dan pahalanya terserah kepada Allah. Kedua, terhadap orang yang hanya mampu menutup hutang pokoknya dan tidak mampu membayar bunga, maka diberikan pinjaman yang bebas bunga (al-qard al-hasan). Di sini berlaku ayat 279 al-Baqarah yang menyatakan bahwa hanya harta pokok yang boleh diminta. Kendati demikian, karena orang ini tergolong orang yang berhak menerima sedekah, maka akan lebih utama jika pihak kreditur mau mem-bebaskan piutangnya. Ketiga, terhadap para pengusaha yang notabene bukan berkategori penerima zakat, kredit yang diberikan dapat dipungut bunganya dengan ketentuan besarnya tidak boleh melampaui batas yang telah ditentukan. Batas atasnya adalah jumlah beban bunga yang harus dibayar sama dengan jumlah hutang pokoknya. Hal ini berdasarkan ayat: “Hai orang-orang mu’min jangan makan riba yang berlipat ganda” (Al ‘Imran: 130).
Atas dasar pandangannya tentang riba dengan berbagai kondisi objektif yang melingkupinya sebagaimana disebutkan di atas, Syahrur mengajukan tiga prinsip dasar sistem bank Islam, yaitu: 1) Mereka yang berhak menerima zakat tidak diberikan kredit, melainkah diberi hibah (sedekah); 2) Dalam kondisi tertentu dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit yang bebas bunga, yakni bagi mereka yang pantas diberi sedekah; 3) Dalam bank Islam tidak boleh ada kredit yang tempo pembayarannya tidak dibatasi hingga beban bunga yang harus dibayar lebih besar daripada hutang pokoknya. Jika hal ini terjadi juga, maka pihak debitur berhak menolak untuk membayar bunga yang melebihi batas tersebut.
Demikianlah teori yang dikemukakan Shahrur tentang riba. Dapat disimpulkan bahwa menurutnya, bunga adalah riba, namun ia boleh dipungut asal memperhatikan kondisi objektif pihak debitur. Debitur dari kalangan anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori mustahiq zakat dan sedekah, termasuk orang yang hanya mampu membayar hutang pokok, tidak boleh dipungut riba, bahkan sebagian dari mereka hendaknya tidak diberi kredit, melainkan hibah. Selain dari kalangan mereka, riba boleh dipungut, tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang telah ditentukan, yakni melebihi harga barang.
Adapun mengenai zakat, yang merupakan batas bawah dan boleh dilewati, Shahrur mengkonsep bahwa hukum membayar zakat adalah wajib bagi yang mampu. Tapi kadar zakat itu sendiri susuai kemampuan dan keikhlasan, artinya tidak harus 2,5%. Karena di dalam al-Qur’an tidak satu pun ayat yang menentukan jumlah zakat yang harus dikeluarkan seseorang. Ini dikarenakan zakat merupakan batas minimal dari pemberian yang diwajibkan dalam Islam atau minimal dari kewajiban bershadaqah. Karena itu, ketika Allah swt mengawali ayat al Qur’an mengenai kewajiban zakat memakai lafadz “inama al-shadaqaatu”. Redaksi ini dapat dipahami bahwa zakat merupakan salah satu bentuk shadaqah. Karena itu term shadaqah merupakan kata umum yang juga mencakup shadaqah. Maka batas kadar zakat dapat dilampaui oleh shadaqoh.
Sayyid Quthb
Pemikiran beliau adalah bahwa orang-orang yang bergerak di bidang dakwah agar menyeru untuk membangun akidah. Harus diajarkan kepada mereka bahwa Islam pertama-tama adalah pengakuan akidah Laa ilaha illalah, dengan pengertiannya yang benar, yang berpeling pada kekuasaan Allah dalam seluruh urusan mereka. Inilah yang menjadi dasar dakwah dalam menyeru kepada Islam. Suatu usaha yang sia-sia menerapkan aturan fiqih Islam untuk menyelesaikan kondisi ekonomi dan sosial di Amerika dan Rusia, sebab kedua negara tersebut tidak mau mengakui hukum Allah. Dan negara-negara lain yang sama. Fiqih Islam tidak dapat dipisahkan dari syariat Islam. Syariat Islam tidak dapat dipisahkan dari akidah Islam. Ketiganya adalah sesuatu yang utuh (menyeluruh), tidak terpecah pecah dalam konsep Islam.hal yang mustahil bila di sana ada Islam, namun tiada orang-orang Islam, tentu keutuhan dan kesatuan akan terpecah dan parsial.
Kita tidak terikat pada fiqih Islam dalam menciptakan masyarakat Islam yang kita idamkan, kita hanya terikat pada syariat dab manhaj Islam saja. Karena fiqih Islam merupakan bagian dalam zaman dan lingkungan yang lain.Hukum-hukum Islam tersebut bersumber dari syariat Islam secara global, bukan terperinci. Pendapat Sayyid Qutb amat berlebihan dan keras dalam memberi vonis kepada orang-orang yang ingin menyampaikan sistem, teori, perundang-undangan dan hasil ijtihad Islam. Terkadang menuduh mereka sebagai orang yang tolol terhadap karakter manhaj Islam yang bersifat realistik, dan menuduh mereka dengan kekalahan batin terhadap sistem barat.
Kesimpulan
Perkembangan Fiqih Islam dari masa ke masa mengalami pasang surut. Namun fiqih Islam terus bergerak sesuai dengan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Bagaimanapun juga fiqih Islam sangat penting sebagai suatu bagian dalam berIslam seseorang terutama dalam memecahkan problem yang muncul dari waktu ke waktu yang membutuhkan jawaban dari agama. Perkembangan pemikiran fiqih Islam kontemporer yang berkesan kurang selaras dengan syariat Islam, seyogyanya dikembangan sebagai kekayaan pemikiran fiqih Islam asalkan tidak keluar dari rel syariat yang sudah qat’i. Pemikiran yang berkembang hanya terbatas pada cara atau metodologinya saja disesuaikan dengan maslah yang muncul, dengan memperhatikan situasi, masa, kondisi dan lingkungan yang melingkupinya. Di era kekinian sangat mungkin muncul produk-produk fiqih Islam kontemporer dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Bahkan hampir semua bidang kehidupan manusia bisa dijadikan sebagai obyek fiqih Islam. Setelah muncul fiqih ibadah, fiqih muamalat /ekonomi, fiqih sosial, fiqih perempuan, fiqih makanan dan fiqih progresif lainnya seperti fiqih hukum negara (kompilasi).
*) Penyuluh Agama Islam Fungsional PPPK
Bismillah, tulisan yang bagus. ijin meresume
BalasHapusPendahuluan:
Ingkar Sunnah adalah gerakan yang menolak sunnah Nabi Muhammad SAW dan hanya berpegang pada Al-Qur'an saja.
Gerakan ini muncul sejak masa Nabi Muhammad SAW dan terus ada hingga saat ini.
Tokoh dan Kelompok Ingkar Sunnah:
Ada tiga kelompok Ingkar Sunnah klasik: Khawarij, Syiah, dan Mu'tazilah.
Di Indonesia, ada beberapa tokoh Ingkar Sunnah seperti Lukman Sa'ad, Dadang Setio Groho, dan Dalimi Lubis.
Argumen Ingkar Sunnah:
Al-Qur'an sudah cukup sebagai sumber hukum Islam.
Hadis Nabi SAW tidak autentik dan bisa dimanipulasi.
Nabi Muhammad SAW hanya bertugas menyampaikan Al-Qur'an, bukan menerangkannya.
Kritik dan Bantahan terhadap Ingkar Sunnah:
Ulama hadis menunjukkan bahwa Al-Qur'an sendiri memerintahkan umat Islam untuk mengikuti sunnah Nabi SAW.
Hadis Nabi SAW merupakan sumber penjelasan penting untuk memahami Al-Qur'an.
Tidak semua hadis ditolak, hanya yang tidak shahih dan hasan.
Kesimpulan:
Ingkar Sunnah adalah aliran sesat yang tidak berdasar.
Mayoritas umat Islam di seluruh dunia menolak Ingkar Sunnah.