Orientasi Fiqh Kontemporer: Dr. Muhammad Shahrur dan Sayyid Qutub (Bagian Pertama)
Oleh Mohammad Yusup, M.H.*)
Pengantar
Penelitian tentang fiqih Islam dirasakan penting untuk dilakukan. Pertumbuhan fiqih menunjukan dinamika pemikiran agama itu sendiri dan menggambarkan benturan agama dengan perkembangan sosial budaya di mana hukum itu tumbuh. Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang surut perkembangan Islam terutama fiqih abad pertengahan. Kajian yang mendalam tentang kesejarahan fiqih bernilai historis dan menawarkan kemungkinan baru pada perkembangan Islam selanjutnya. Dalam makalah ini akan ditulis sejarah fiqih Islam secara singkat dan sedikit perkembangan fiqih Islam di Indonesia. Kemudian di bahas tentang pemikiran fiqih kontemporer dari dua tokoh konteroversial yaitu Dr. Muhammad Shahrur dan Dr. Sayyid Qutbh.
Periode perkembangan hukum Islam (Fiqih) di Indonesia misalnya,dibagi menjadi tiga masa,yaitu: masa pra kolonial, masa kolonial dan masa pasca kemerdekaan sampai sekarang. Masa pra kolonial hukum Islam di jalankan oleh kerajaan-kerajaan Islam, sedang pada masa kolonial sudah muncul hukum produk Kolonial berupa KUHP dan KUHAP, sedang pada masa pasca kemerdekaan muncul produk –produk baru hukum Islam atau fiqih dalam berbagai bidang. Pembahasan dalam makalah hanya akan membahas hukum Islam atau Fiqih pada masa kekinian atau kontemporer.
Sejarah fiqih Islam
Menurut Norman J. Coulson, berbeda dengan hukum Romawi yang terbatas perkembangannya, fiqih Islam berkembang dalam bentuk formulasi akademik dari skema alternatif untuk suatu kebutuhan praktis. Para penguasa tidak ikut campur dalam perkembangan fiqih namun merupakan argumem teoritis ilmuwan dalam jangkauan yang panjang.
Sejarah fiqih Islam terbagi menjadi enam periode, Yaitu:
Periode pertama.
Periode ini adalah perode era kenabian, yaitu masa kehidupan Nabi SAW dan para sahabat semenjak turunnya wahyu sampai wafatnya Nabi SAW. Masa ini merupakan masa pembentukan dan pertumbuhan fiqih Islam. Sumber fiqih pada masa ini adalah wahyu, baik Al Qur’an (wahyu yang dibacakan) dan Sunnah (wahyu yang tidak dibacakan). Ijtihadnya adalah Ijtihad Nabi SAW dan ijtihad sahabat seperti Muadz bin Jabal di Yaman yang diijinkan Nabi berijtihad. Ijtihad Nabi SAW dan para sahabat dapat disebut sumber fiqih. Dalam berijtihad Nabi mencari hukum-hukum Syar’I terhadap peristiwa yang tidak ada nashnya atas dasar kemaslahatan, tidak menyingkap hukum, karena wahyu sebagai penjelas hukum. Jika wahyu turun menguatkan ijtihad nabi berarti hukumnya merujuk pada Nash, bila wahyu yang turun berbeda dengan ijtihad Nabi maka hukumnya merujuk pada nash bukan ijtihad.
Periode kedua.
Periode ini bermula sejak wafatnya Nabi SAW tahun 11 H dan berakhir ketika Muawiyah bin Abi Sofyan menjabat sebagai khalifah tahun 41 H. Daerah-daerah yang dibuka dan Di Islamkan saat itu memiliki perbedaan kultur, tradisi dan kondisi yang menghadang para fuqoha dalam memberikan hukum.Mereka merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah dalam menjelaskan suatu persoalan. Saat itu mulai muncul perbedaan pemahaman terhadap nash karena perbedaan persepsi dan pendapat. Termasuk hubungan Islam dengan ahli Dzimmah, mereka yang tetap pada agamannya di negara Islam, hak dan kewajibannya. Ini persoalan baru yang belum pernah terjadi dan tidak ada nash Al Qur’an dan Hadis yang secara jelas merinci masalah hukum.
Sumber fiqih periode ini adalah Al Qur’an, Hadis, Ijma’( musyawarah), qiyas. Suatu ketika khalifah Umar R.A mengirim surat kepada seorang hakim bernama Syuraih :”jika kamu temukan dalam Al Qur’an, putuskanlah dengannya,jika berhadapan dengan apa yang tidak ada di Al Qur’an putuskalah dengan sunnah Nabi SAW, dan jika tidak ditemukan pada keduannya putuskanlah dengan Ijma, jika tidak ada yang memutuskan sebelum kamu, kamu boleh memilih antara ijtihad dengan pendapatmu sendiri atau mengakhirkan putusanmu."
Periode ketiga
Periode ini adalah periode sahabat dan tabiien. Masa ini lebih merupakan masa munculnya persoalan teologis, sedangkan kajian fiqih tenggelam di bawah perpecahan agama dan negara.Periode ini bermula dari pemerintahan Muawiyah bin abi Sofyan sampai awal abad ke 2 H. Pada masa ini ada modal dasar yang menghantarkan fiqih menuju era keemasan. Masa ini para fuqoha tidak hanya menggunakan rasio namun memprediksi peristiwa yang belum terjadi dan memberi hukumnya. Aliran ini dipelopori oleh Ibrahim bin Yazid An Nakh’ie seorang guru fiqih Irak. Namun mendapat tentangan dari ulama-ulama Hijaz Madinah. Namun fragmentasi fiqhiyah pada periode ini tidak memasung perkembangan fiqih namun justru ada apresiasi terhadap gagasan Ibrahim tersebut. Pada perkembangan berikutnya terjadilah pembauran, pluralisme dan heteroginitas pemikiran baik di Irak maupun di Madinah sendiri yang sangat membantu memperkaya tsarwah fiqhiyah. Sumber fiqih masa ini adalah Qur’an, Sunnah dan Ijtihad. Pada masa ini juga ada upaya untuk mengumpulkan dan menuliskan hadis.
Periode keempat
Masa ini disebut pula dengan masa keemasan Fiqih, edengan runtuhnya dinasti Umayyah abad ke 2 H. Para khalifah bani Abbas mendekati para fuqoha dan mendudukan pada posisi yang terhormat. Hal ini dapat dilihat ketika khalifah Harun al Rasyid memanggil Imam Malik untuk mengajarkan kitab Muwatha’ kepada putranya Al Amin dan Al Makmun.
Pasa masa ini muncul tiga hal yang menandai masa keemasan fiqih yaitu faktor-faktor yang menyebabkan kecemerlangan fiqih, masa kodifikasi dan munculnya mazhab-mazhab fiqhiyah yang menjadi rujukan sampai saat ini. Faktor yang mempengaruhi perkembangan fiqih adalah pengaruh pemikiran filsafat dan logika kemudian adanya kebebasan berpendapat dalam dialog dan juga adanya kodifikasi ilmu( ushul fiqih dan sumber-sumber fiqih ). Perluasan wilayah daulah Abbasiyah sampai ke Cina di Barat dan Andalusia di Timur menimbulkan persolan yang mengilhami munculnya perhatian yang besar terhadap fiqih fardli.
Pada masa ini mazhab yang muncul tidak terbatas pada empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali saja namun saat itu muncul 13 mazhab yang berafiliasi sebagai mazhab ahli sunnah.Namun melalui pertarungan yang sengit dan ketat yang memperoleh legitimasi dari generasi ke generasi berikutnya adalah empat mazhab tersebut.
Periode kelima
Masa ini disebut dengan era fiqih dalam keterpakuan tekstual. Seiring dengan pemasungan terhadap kebebasan berpendapat dan pro kontra terhadap daulat Abbasiyah terjadi pembelaan terhadap mazhabnya sendiri-sendiri atau munculnya fanatisme (taassub) terhadap kelompok tertentu. Ditambah lagi kondisi sosial politik yang tidak menentu, pada abad empat hijriyah, Daulah Abbasiyah tepecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang memilki otoritas sendiri yang saling bersitegang hingga jatuhnya kota Baghdad pada tahun 656 H. Hal ini menyebabkan terhentinya aktifitas-aktifitas ilmiah dan dinamika berfikir di negara itu. Masa ini disebut oleh para fuqoha dengan mengeluarkan fatwa bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Seiring dengan terjadinya kejumudan dan kemandegan pemikiran fiqih, kita juga menyaksikan kebangkitan Tasawuf. Menurut Fazlur Rahman ketertarikan terhadap Tasawuf muncul pada abad ke-4 H dan 5 H.
Perhatian ulama periode ini terhadap kodifikasi ilmu sangat besar. Diantaranya adalah gerakan penulisan hadis, penulisan bidang fiqih, penulisan Ushul fiqih, penulisan fatwa hingga menuju kepada kebangkitan fiqih kembali.
Periode keenam
Masa ini adalah masa fiqih dalam era kebangkitan kembali. Fenomena-fenomena yang muncul pada akhir abad ke-13 H, merupaka suatu wujud kesadaran dan kebangkitan kembali fiqih Islam. Hal ini adalah dampak sejarah dari barat terhadap masyarakat Islam, khususnya pada abad ke 13 H. Bersamaan dengan semakin menipisnya fanatisme mazhab muncul kesepakatan pemikiran dalam aspek hukum, walaupun terjadi perbedaan yang cukup tajam dalam menemukan penyelsaiannya. Perbedaan tersebut berkembang dalam wujud pemikiran di kalangan ulama dan fuqoha sejak akhir abad ke-14 H sampai sekarang.
Macam- macam Produk Hukum Islam
- Ushul Fiqih dan Fiqih
Ushul Fiqh adalah tarkib idhafi (kalimat majemuk) yang menjadi nama dari suatu disiplin ilmu tertentu. Ushul adalah ( yang menjadi mudhaf) dan fiqh (menjadi mudhof ilaih). Hubungan ilmu ushul fiqih dengan fiqh adalah seperti hubungan ilmu mantiq dengan filsafat atau seperti ilmu nahwu dengan bahasa Arab. Ushul fiqh adalah kaidah yang memelihara fuqaha agar tidak terjadi kesalahan di dalam mengistimbathkan (menggali) hukum .
Obyek fiqh berbeda dengan obyek ushul fiqh. Obyek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci, sedangkan obyek ushul fiqih adalah metodologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-duannya membahas dalil-dalil syara’ tapi tinjauannya berbeda. Fiqih membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqih meninjau dari segi metode penetapan hukum, argumentasi serta situasi dan kondisi yang melatarbelakanginya. Ilmu ushul fiqh selalu mengembalikan dalil-dalil hukum syara’ kepada Allah SWT, karena yang berkah menetaqpkan hukum-hukum syara’ hanyalah Allah SWT. Dalil yang ada adalah sebagai sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah. Al Qur’anlah yang menyatakan hukum-hukum Allah kepada manusia, sementara hadis berfungsi sebagai penjelasan yang merinci Al Qur’an, karena Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu menurut kemauan hawa nafsunya. Sedangkan dalil-dalil yang lain merupakan cabang yang menginduk kepada kedua subyek tersebut. Jadi obyek ilmu ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ secara hakekatnya, kriterianya, Hakim (Allah) dari segi yang menetapkan hukumnya, mahkum ilaihi (orang yang dibebani hukum) dan cara menggali hukum yaitu dengan berijtihad.
Sedangkan perbedaan antara Qawaid Fiqhiyah dengan ushul fiqh adalah bahwa ushul fiqh itu kaidah atau metode yang digunakan oleh ahli fiqh di dalam menggali hukum syara’ agar tidak terjadi kesalahan. Sedangkan qawaid fiqhiyah adalah himpunan hukum syara’yang serupa karena ada titik kesamaan. Jadi Qaidah fiqhiyah adalah kaidah atau teori yang diambil dari menghimpun masalah-masalah fiqh yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad. Kita dapat menetepkan hubungan ketiga disiplin ilmu tersebut sebagai berikut: Ushul fiqh adalah dasar untuk menggali hukum-hukum fiqh yang bermacam-macam dan dapat dihubungkan antara yang satu dengan yang lain, maka ditetapkan suatu kaidah umum yang menghimpun hukum-hukum tersebut yang disebut kaidah fiqh.
- Fatwa
Fatwa menurut bahasa adalah sesuatu yang dijelaskan. Dalam pengertian yang lebih sempit fatwa adalah sesuatu yang dikemukakan oleh orang yang berilmu (alim) ketika menjelaskan atau memberikan keterangan mengenai suatu hukum. Sedangkan dalam arti khusus adalah suatu pendapat atau pemberitaan hukum Islam yang diberikan atau disampaikan oleh perorangan atau lembaga yang memilki otoritas dalam bidang hukum Islam sebagai jawaban atau respon mengenai suatu permasalahan atau persoalan hukum Islam. Orang yang memberikan fatwa dinamakan Mufti.
Adanya fatwa-fatwa sahabat Nabi merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri, baik berupa penerapan hukum berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah, atau hasil ijtihad mereka sebagai solusi hukum terhadap masalah yang terjadi waktu itu. Semua fatwa sahabat itu bukan merupakan sumber hukum, kecuali setelah adanya ketetapan, pengakuan atau persetujuan (taqrir) dari Nabi SAW. Secara tidak langsung Nabi mengajarkan dan melatih mereka cara-cara mengambil dan mengaluarkan hukum dari dalil-dalil yang rinci maupun yang universal, sebagaimana di contohkan Nabi dalam berbagai kesempatan bersama mereka. Dengan harapan hukum Islam senantiasa mampu mengantisipasi serta memberikan solusi terhadap berbagai problematika umat yang terjadi sepanjang masa.
Pasca wafatnya Nabi SAW, istilah fatwa kemudian menjadi populer dilekatkan kepada sahabat Nabi SAW. Pada zaman sahabat yang bertindak sebagai tempat rujukan adalah beberapa tokoh sahabat bukan karena sebagai khalifah namun berdasarkan keistimewaan kepribadian dan keahlian ilmu yang dimilikinya. Mereka yang cukup lama bergaul dengan Nabi, menhafal Al Qur’an serta sunnah dari Nabi. Mereka menyaksikan dan mengetahui sebab-sebab turunnya Al Qur’an dan sebab-sebab datangnya sunnah dan beberapa dari mereka merupakan orang-orang yang dimintai pertimbangan Nabi dalam melakukan Ijtihadnya.
Perbedaan pemahaman dalam menetepkan hukum di kalangan para sahabat disebabkan karena:
Kebanyakan dalalah nash-nash hukum dalam Al Qur’an dan sunnah tidak bersifat qat’i, melainkan zanni yang membuka kemungkinan arti yang lain. Belum adanya ungkapan kata-kata seperti mutlaq, muqayyad, mantuq, mafhum, zahir, mujmal, mufassar, muhkam, musykil,mutasyabih, khafi dan lain-lain, telah membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat di kalangan sahabat dalam pemahaman terhadap nash-nash.
Pengetahuan sahabat terhadap sunnah Rasul waktu itu tidak sama, sehingga banyak fatwa sahabat yang ditarik kembali setelah diketahui ada dalil sunnah lain dari sahabat yang tidak diketahuinya.
Situasi dan tempat tinggal sahabat yang berbeda-beda ( Madinah, Mekkah, Mesir, Syam, Kuffah, Basrah).
Ada dua pendapat tentang hasil fatwa sahabat secara perorangan yaitu :
Pendapat pertama dari kalangan imam Hanafi, Maliki, Syafi’I, Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa fatwa sahabat dapat dijadikan pegangan oleh generasi sesudahnya. Alasan mereka adalah : Surat Ali Imron : 110
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.”
Sabda Rasulullah SAW :
“Sebaik-baik umatku adalah generasi di mana saya hidup bersama mereka, kemudian generasi sesudah mereka, selanjutnya generasi setelahnya."
Pendapat kedua dari salah satu riwayat Hambali, Mu’tazilah dan kalangan Syi’ah mengatakan bahwa fatwa sahabat tidak mengikat generasi sesudahnya. Alasan Mereka adalah:
Firman Allah dalam surat al Hasyr : 2,
فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ...
“…maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan”.
Kemudian para sahabat bukan ma’sum (bebas dari kesalahan) sama dengan mujtahid lainnya. Oleh sebab itu fatwa mereka mengandung kebolehjadian keliru. Sesuatu yang boleh jadi keliru yang tidak layak diikuti. Ada perbedaaan pendapat mengenai hal ini. Dalam adab memberikan fatwa ada keharusan seseorang memiliki ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk berfatwa. Jika dilakukan setiap orang tanpa mengindahkan kriteria dan syarat-syarat mufti, maka pranata fatwa bukan membawa kebaikan agama, namun mendatangkan kekacauan dan kehansuran agama dan di cela dalam agama. Kata lainnya adalah bertanyalah pada ahlinya atau orang yang sudah berpengalaman (An Nahl 43). Sikap para ulama dalam membuat fatwa bersikap hati-hati dan bersikap kehati-hatian dalam berfatwa, karena kesadaran yang mendalam dalam diri mereka mengenai beratnya tanggungjawab yang dipikulnya di hadapan Allah SWT.
Hukum memberi fatwa menurut Zaid az Zaibari adalah:
Fardlu ain, yaitu ketika hanya ada satu mufti sedangkan tidak ada mufti lain dalam suatu wilayah dan membutuhkan jawaban segera untuk dilaksanakan.
Fardlu kifayah, yaitu jika dalam suatu wilayah atau negara ada dua atau lebih mufti.
Sunah, yaitu dimintai fatwa masalah yang terjadi dan sudah ada ketetapan hukumnya.
Haram, yaitu yaitu mufti yang tidak mempunyai ilmu, jahil, bodoh atau fatwanya untuk bersenda gurau atau main-main atau membawa pada kesesatan.
Makruh, yaitu ifta terhadap maslah-masalah yang mustihil terjadinya.
Mubah, yaitu mufti yang selain kelima di atas.
Syarat-syarat menjadi mufti dapat dikelompokan dalam empat hal :
Syarat umum, yaitu Mukallaf yang meliputi Muslim, Dewasa dan sempurna akalnya.
Syarat keilmuan, yaitu ahli dan mempunyai kemampuan berijtihad, mengetahui dalil-dalil sam’I dan dalil-dalil aqli.
Syarat kepribadian, yaitu adil dan dipercaya, karena akan langsung menjadi ikutan umat dalam beragama.
Syarat pelengkap, yaitu sebagai ulama panutan, mempunyai niat yang benar dan ikhlas, santun, berwibawa, penuh ketenangan, teguh pendirian, kuat pengetahuannya, berkecukupan hidupnya, mengetahui kondisi sosiologis masyarakatnya.
Jika dibedakan antara konsep fatwa dan hukum, dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, fatwa sebagai sebuah khabar, ketetapan yang independen, baik diyakini atau tidak,sedangkan hukum insya’ bukan khabar.
Kedua, kekuatan mengikat fatwa adalah pada penerimaan atau persetujuan para pemohon atau penanya sedang pada hukum kekuatan mengikatnya melekat pada putusan itu.
Ketiga, pemohon fatwa memilki pilihan untuk menerima atau menolaknya, sedangkan bagi yang berperkara setelah ada putusan hakim ia tidak boleh memilih menerima atau menolaknya.
Keempat, hukum secara otomatis berakibat memenangkan pihak tertentu sedangkan fatwa tidaklah demikian. Menurut Qarafi telah terjadi ijmak atas wajibnya mengikuti hukum dalam maslah yang diperselisihkan selagi tidak bertentang dengan empat hal (umuru al arbaah) yaitu Ijmak, qawaid, nass, qiyas jallli.
Mengenai pahala orang yang malaksanakan ijtihad adalah sebagai berikut, bahwa sebgian besar ahli ushul fiqih berpendapat bahwa hanya satu yang di anggap benar dan karenanya diberi pahala dua kali, karena ia memenhuhi kewajiban menjalankan ijtihad di satu pihak dan mencapai hukum yang benar di pihak lain. Mujtahid yang salah hanya diberi satu pahala, sebagai pengakuan atas usahanya dalam memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya.
Dalam masyarakat yang homogen mazhab hukumnya, konsep pluralitas fatwa tampaknya tidak terlalu penting untuk direalisasikan. Berbeda dengan masyarakat yang heterogen mazhab hukumnya. Di sini konsep toleransi (Tasamuh) menjadi sangat berharga dalam kehidupan manusia. Kunci toleransi bukanlah membuang atau merevisi ketidaksepakatan, tapi kemauan untuk menerima ketidaksepakatan yang genuine. Dalam konteks umat Islam di Indonesia, konsep pluralitas fatwa al Qarafi tampaknya juga dapat diterapkan, terutama berkenaan dengan masalah-masalah furu’ yang masih diperselisihkan, sebagaimana ikhtilaf di kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Kompilasi Hukum Islam
Posisi KHI dalam Tata Hukum Nasional awal kemerdekaan:
Hukum produk legislasi kolonial.
Hukum adat.
Hukum Islam, dan
Hukum produk legislasi nasional.
Dapat disimpulkan bahwa KHI merupakan gabungan antara hukum Islam dg produk legisalasi nasional dalam kata lain “pemberlakuan hukum Islam melalui legislasi.”
Proses KHI
Awal mula diumumkan oleh Menteri Agama RI : Munawir Sjadzali, MA. (1983-1993).Maret 1985 Presiden Soeharto ambil prakarsa penyusunan KHI. Ditindaklanjuti pada tanggal 25 Maret 1985 Mahkamah Agung dg Departemen Agama mengeluarkan keputusan bersama Nomor 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 yang ditandatangani di Yogyakarta oleh Ketua MA dan Menteri Agama.
Makna kehadiran KHI
Menggambarkan ragam makna kehidupan masyarakat Islam Indonesia, terutama tentang :
Adanya norma hukum yang hidup dalam masyrakat dan
Berperan serta mengatur interaksi sosial.
Aktualisasi normatif dari eksplanasi fungsional ajaran Islam yang berimplikasi terpenuhinya tuntutan kebutuhan hukum.
Kesepakatan dari para ulama.
Sistematika KHI
Buku I : Hukum Perkawinan.
(Pasal 1 – 170)
Buku II : Hukum Kewarisan.
(Pasal 171 – 214)
Buku III : Hukum Perwakafan.
(Pasal 215 – 229)
Asas-asas hukum perkawinan dalam KHI
Asas Sukarela.
Asas Persetujuan kedua belah pihak.
Asas Kebebasan memilih.
Asas Kemitraan suami – istri.
Asas berlaku untuk selama-lamanya.
Asas monogami terbuka.
Asas-asas Kewarisan Islam
Asas Ijbari. à bersifat otomatis
Asas Bilateral.à mewaris dari 2 belah pihak
Asas Individual.
Asas Keadilan Berimbang.
Asas Akibat Kematian.
Pengertian KHI
H. Abdurrahman, SH. Mendefinisikan sebagai berikut: “Kompilasi Hukum Islam di Indonesia merupakan rangkuman dari berbagai kitab yang ditulis oleh ulama fikih yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu himpunan.”
Posisi KHI dalam Tata Hukum Nasional awal kemerdekaan:
Hukum produk legislasi kolonial.
Hukum adat.
Hukum Islam, dan
Hukum produk legislasi nasional.
Dapat disimpulkan bahwa KHI merupakan gabungan antara hukum Islam dg produk legislasi nasional dalam kata lain “pemberlakuan hukum Islam melalui legislasi.”
Komentar
Posting Komentar