Kedewasaan Iman

Oleh Muhammad Zainur Rakhman

Hulu dari keimanan terletak di dalam hati, meskipun iman juga tidak sempurna jika tidak diwujudkan dalam kata dan perbuatan. Posisi ini menjadikan iman juga terkait dengan jiwa dan kepribadian. Artinya, keimanan tumbuh dan berkembang sebagaimana perkembangan jiwa dan kepribadian. Oleh karena itu, keimanan bisa dikategorikan menjadi tiga tingkatan: keimanan kanak-kanak, keimanan remaja atau anak muda, dan keimanan yang dewasa.

Keimanan kanak-kanak, merupakan jenis keimanan pemula. Ciri khasnya, sebagimana kanak-kanak, yaitu menerima tanpa perlu bertanya, mengikuti tanpa perlu mengetahui apa dan kenapa. Dorongan keimanan jenis ini lebih dikarenakan terciptanya situasi dan kondisi yang mendukung keimanan tersebut, contohnya karena keturunan. Orang yang berada dalam keluarga muslim yang taat, maka secara otomatis dia akan terkondisi menjadi muslim, beriman dengan keimanan yang didukung oleh lingkungannya. Sifat dari keimanan kanak-kanak, senantiasa menyukai gemerlap dan keriuhan. Maka, keimanan jenis ini sangat terbantu dengan perayaan, ritus-ritus, yang melibatkan massa yang banyak, disemarakkan dengan makanan, juga musik, dan tarian. Keimanan jenis ini sangat terbantu dengan asesoris khas keagamaan, dan kultur yang berciri khas keimanan tersebut. 

Kelemahan dari keimanan jenis ini adalah, mudah tercerabut dan hilang manakala situasi dan kondisi yang mendukungnya juga tidak ada atau sedikit berubah. Bisa kita lihat pada kasus ramadhan tahun kemarin, dimana orang-orang tidak diperbolehkan sholat taraweh, tidak ada hingar bingar khas bulan puasa, dan bahkan sholat iedul fitri hanya dilakukan terbatas pada keluarga sendiri. Maka, dampaknya, bagi keimanan kanak-kanak, suasana semacam itu sangat tidak nyaman, berbuah pada turunnya semangat beribadah, hingga mengabaikan ibadah sama sekali; hal yang berbeda tatkala situasi kondisinya normal. Keimanan kanak-kanak ini juga mudah tertipu oleh simbol-simbol dan kesan lahiriah. Model keimanan jenis ini akan mudah tunduk pada orang-orang yang secara lahiriah memakai jubah, sorban, memutar butiran tasbih dan kesan-kesan keshalehan lainnya. Keimanan jenis ini biasanya mengukur parameter keimanan dengan kuantitas ibadah dan segala jenis kesan keshalehan yang tampak pada mata. Keimanan ini, meskipun paling rentan dan secara kualitas berada di grade terbawah, namun keimanan jenis ini tidak berbahaya, dan relatif aman, asalkan situasi dan kondisi yang mendukung keimanan ini selalu terjaga dan tercipta sebaik-baiknya. Orang dengan jenis keimanan semacam ini, asalkan tidak keluar dari lingkungan religiusnya, tidak ada masalah. Dia hanya perlu tunduk, patuh pada otoritas ulama dan kyai. Keimanan jenis ini adalah model terbanyak dari umumnya manusia.

Keimanan berikutnya adalah keimanan remaja. Sebagaimana anak muda, yang penuh rasa ingin tahu. Keimanan jenis ini tumbuh pada mereka yang mulai bertanya, mulai belajar, mulai menindak-lanjuti rasa ingin tahu dengan keberanian berpetualang, mencari kebenaran. Maka, keimanan jenis ini akan sangat rentan kepada sikap-sikap ekstrim, baik ekstrim beriman, atau sebaliknya, ekstrim kehilangan iman (atheis atau agnostik). Keimanan jenis remaja ini, berciri pada sudah adanya ilmu, meski sedikit, dan sudah adanya ghirah untuk berjuang atas nama iman. Ketika seseorang mulai mempertanyakan konsep Tuhan, konsep Nabi, konsep agama, maka ia sedang menjalani keimanan model remaja. Hal ini merupakan sesuatu yang positif, karena artinya sudah ada penggunaan akal, meskipun secara terbatas. Keimanan jenis ini, karena lebih punya pengetahuan daripada model keimanan jenis kanak-kanak, maka ada semacam euforia, gegar pengetahuan. Maka dia akan sangat bersemangat dalam keimanannya, menunjukkan kebanggaan akan imannya pada dunia, dan tak hanya terhenti pada simbol, tetapi juga mulai merambah pada substansi dari simbol-simbol tersebut. Keimanan jenis ini sudah tahu, bahwa simbol-simbol itu hanya suatu alat bantu, maka kadangkala ditemui dalam keimanan jenis ini, semacam sikap meremehkan simbol-simbol. Contohnya, sholat memakai kaos, dan celana jeans. Itu dilakukan sebagai bentuk protes, bahwa simbol-simbol itu tak lebih penting dari substansi. Bisa juga sebaliknya, teramat menunjukkan simbol, namun dengan penghayatan yang lebih maju. Keimanan jenis ini karena sudah mulai terbentuk identitas, maka mulai muncul fanatisme dan pembedaan dari yang lain iman. Titik ekstrimnya, adalah berjuang atas nama imannya, dengan segala cara, meskipun bertentangan dengan imannya itu sendiri. Orang-orang yang intoleran, terorisme, tumbuh subur pada keimanan jenis ini. Di sisi ekstrim yang lain, orang-orang liberal, agnostik, atheis, dan anti agama juga munculnya dari keimanan jenis ini. Maka, keimanan jenis ini harus terus ditindaklanjuti dengan belajar terus dan tidak terhenti pada satu perspektif. Seseorang dengan keimanan jenis ini, harus terus menuntaskan belajarnya, tidak terburu-buru mengambil kesimpulan, sehingga keimanannya akan naik menjadi iman yang dewasa.

Terakhir, keimanan yang dewasa, adalah bentuk keimanan yang sudah matang. Sebagaimana orang dewasa, keimanan ini adalah iman yang paripurna. Seseorang dengan keimanan ini, artinya dia telah berada di puncak pencarian, telah menemukan kesejatian. Maka bentuk keimanannya tentu substantif, tetapi juga tidak meremehkan simbol. Sudah tidak ada lagi fanatisme dan kebanggaan berlebihan. Tidak ada perasaan kebenaran tunggal sebagaimana keimanan remaja. Tidak juga suatu semangat yang meluap-luap untuk berjuang atas nama imannya. Semua dijalani dengan santai dan tenang. Ibarat secangkir kopi, adukannya sudah terhenti, serbuknya sudah demikian mengendap, dan kopinya sudah terseduh matang secara sempurna. 

Seseorang yang imannya dewasa, tidak akan tersinggung dengan iman yang lain. Tidak ada lagi keinginan untuk mengungguli golongan lain. Tidak juga motif menunjukkan imannya dengan penciptaan kesan kesan lahiriah (pencitraan). Perjuangan iman, sudah berorientasi ke dalam. Oleh karena itu, pada jenis keimanan yang dewasa inilah, seseorang memulai suluknya (perjalanan batin menuju Tuhan).

Keimanan yang dewasa, ditopang oleh keilmuan yang dalam, dan pengamalan keagamaan yang istiqomah. Dan yang terpenting, keimanan yang dewasa ini berarti seseorang sudah mampu mengendalikan hawa nafsunya dengan sebaik-baiknya. Antara ilmu dan amal, sudah tidak ada jarak, apalagi sesuatu yang bertentangan dan berlawanan. Satunya hati, pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dalam upaya menuju model keimanan yang dewasa inilah, yang menjadi tujuan dari moderasi beragama. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Epistemologi dalam al Qur'an

Hakikat Mencintai Allah Swt; Khauf, Raja, dan Tawakkal Kepada-Nya

Mengenal Inkarussunnah